Papa Bukan Kejam

strangle Entah kenapa hari ini, aku tiba-tiba rindu Papa, rindu Mama, rindu akan semua ajaran mereka, rindu akan semua kasih sayang mereka. Ke-rindu-an ini (yang jarang sekali muncul) membuat-ku teringat akan hari-hari-ku di masa kecil. 😥

Hari-hari-ku dulu waktu ku kecil, penuh dengan kekerasan mental dan fisik yang aku dari ke-dua orang-tua-ku sehingga aku pernah ber-pikir untuk mem-banding-kan orang-tua-ku yang kejam, seperti-nya tidak ber-peri kemanusia-an dengan orang tua lain-nya yang seperti-nya lebih baik… 😈

Yah hari-hari yang penuh dengan jadwal yang ketat

  1. Bangun jam 5 pagi
  2. Ngangkat air ampe menuhin 4 bak, 5 ember besar dari mata air di belakang rumah (kalau ngarepin PAM, bisa nggak mandi seminggu) dan ngasih makanan ayam
  3. Trus ke-sekolah jam 7 dan se-pulang sekolah jam 1 bantu Mama ngiketin es atau bantuin kerjaan lain-nya
  4. Trus belajar ampe jam 3 dan tidur siang 2 jam, jam 5 boleh main-main
  5. Jam 6 harus mandi, dan jam 7 di-lanjutin belajar ampe jam 9
  6. Jam 9 harus nonton Dunia Dalam Berita di TVRI, dan jam 10 belajar lagi ampe jam 11, dan baru tidur.

Waktu belajar ini, tiap kali kami duduk dengan terpaksamanis-nya di meja belajar, kaki di-iket di kaki meja berdua dengan abang-ku hanya agar kami tidak lari, trus kaki yang di-rendam di dalam air dingin penuh es batu yang di-campur di dalam ember, hanya agar kami tidak ngantuk 😦 . Belum lagi tiap malam harus ngafalin perkalian 1-10, 11-20, dan se-terus-nya. Aku pernah bertanya tentang ini kepada Papa-ku, dan dia hanya menjawab singkat:

“Itu semua-nya untuk kalian, bukan untuk siapa-siapa”

Tapi ada satu yang aku ingat sekali dari Papa-ku 🙄 , waktu itu aku masih kelas 2 SD, dan abang-ku kelas 3 SD, ketika dengan gagah-nya dia di-percaya menjadi Pembina Upacara meng-ganti-kan Bupati dalam acara 17 Agustus-an sekelas Kabupaten-ku. Dia di-hormati, di-hargai, dan semua mata peserta upacara memandang-nya. Hebat kan? 😕

Tapi…kami ada dimana?, kami malah sedang ber-jual-an es mambo di salah satu sudut lapangan upacara itu, persis di-bawah pohon besar yang ada di sudut itu, dengan peluh kecil kami yang mengalir deras. Yah, kami, aku dan abang-ku duduk disitu menawarkan es, yang di-buat oleh mama-ku di dalam termos yang tutup-nya bisa di-simpen-in uang. Banyak mata memandang kami heran, bahkan kami sendiri pun heran, Papa-ku yang kami cintai sedang berdiri di depan podium kehormatan, tapi kami anak-anak-nya malah jualan es disini. 😡

Se-kelar-nya upacara, Papa datang menanya-kan tentang jualan kami, yang langsung kami jawab dengan protes

“Papa tidak adil, Papa di-sana, hebat, kami di-sini malah jualan”, jawab abang-ku ketus dengan pertanyaan ke-kanak kanak-annya

“Iya, aku kan masih mau main-main, kok malah di-paksa jualan, gaji Papa kan cukup”, tukas-ku gak kalah kesal-nya

Dia malah tersenyum, senyum yang me-nenang-kan, senyum kasih seorang Papa kepada anak-anak-nya, dia jawab:

“Kalau Papa tidak ada, siapa yang membeli buku kalian? Kalau Papa tidak ada, siapa yang akan membeli makanan kalian? Kalau bukan kalian sendiri yang mencari, kalian tidak akan bisa membeli buku, dan pasti tidak bisa makan. Jadi dari sekarang, kalian harus belajar untuk bisa mencari uang sendiri, agar kalian bisa meng-hargai uang itu sekecil apa-pun, dan yang paling penting kalian bisa hidup dari tangan kalian sendiri”

Kami terdiam, meskipun mungkin kami tidak terlalu mengerti saat itu, tapi perkataan itu tersimpan rapat-rapat di ingatan-ku hingga sampai saat aku mulai mengerti kebenaran-nya. Dan saat itu, aku baru menyadari kalau ternyata Papa-ku tidak kejam, malahan Papa-ku terlalu baik kalau di-banding-kan dengan orangtua teman-teman-ku lain-nya. 😉

Ketika dia meninggal pada saat aku masih SMP, aku tidak takut, aku yakin bekal yang telah di-ajar-kan-nya akan bisa membantu-ku untuk hidup. Dan ini sudah terbukti saat ini, biar-pun sedikit, tapi aku bisa hidup. Aku bisa tunjuk-kan pada dunia kalau tanpa orang tua-pun aku bisa hidup, aku bisa memiliki sedikit lebih banyak dari yang tidak memiliki.

Jadi menurut kalian, teman-teman dan pembaca, Papa-ku kejam?

[catatan: gambar diambil dari sini (meskipun aku sebenar-benar-nya bukan penggemar Simpsons 😆 )]

37 Tanggapan

  1. Pertamax, komen ntar~

  2. keduax….
    yess!

  3. mengharukan..
    😦

  4. gitu kok kejam… enggak lah, kalau memang ceritanya seperti itu (tidak lebih atau kurang) berarti itu papa yang baik.

    Cuma, nggak munafik…. waktu dulu diperlakukan agak seperti itu saya memang mangkel banget. Tapi memang kita baru terasa kalau itu semua sudah berlalu 😀

  5. Yang penting kan asas tujuan dan kemanfaatan…
    Seringkali kita membutuhkan suatu tindakan “kekerasan” untuk memulai suatu hal …

  6. *sok alim mode: on*

    percayalah bahwa apa yang dilakukan orang tua pasti akan bermanfaat untuk kita, secara kita anaknya gitu, terkadang kitanya aja yg kurang ajar gk mau dengerin nasihat beliau, bahkan lupa akan kehadiran beliau.

    *sok alim mode: off*

    jadi kangen papa n mama di rumah

  7. Papanya baik, tu. Sayang anak. Jadwalnya mendingan, tu. Saya pernah kesal dan marah sama ibu saya. Menurut saya beliau tidak sayang saya. Tapi, itu waktu kecil, lho. Jadwalnya ini:
    Jam 3: Bangun pagi, bantuin ibu membuat kue.
    Jam4: Menimba air di sumur, mengisi penuh semua bak. Membeli air pdam juga di tetangga sebelah.
    Jam5: Cucu pakaian sekeluarga
    Jam6: Siapain adik-adik untuk berangkat ke sekolah bersama.
    Jam6.30: Berangkat sekolah
    Jam 13.45: Pulang sekolah, sampai rumah sudah jam 14.15
    Jam 15: Jualan kue, jagung rebus. Itu pun jalan kaki dari satu rumah ke rumah lainnya.
    Jam 17: Sampai rumah. Istirahat 10 menit untuk mandi dan makan
    Malamnya dengan minyak lampu lentera harus cuci pakaian dari sepuluh keluarga. Demi bisa berrsekolah. Dari jasa mengambil jasa mencuci pakaian itulah saya bisa bersekolah. Waktu untuk belajar hampir tidak ada.

  8. Saya jarang ada waktu untuk bermain. Saya pikir ibu saya kejam, kejam. Tapi, setelah saya dewasa, saya ingin berterima kasih kepada ibu. Ibu yang menjadikan saya kuat bertarung dalam hidup ini. Kemiskinan menghadiahkan kepada saya apanya yang dinamakan perjuangan, ketegaran.

    Eh, koq jadi bercerita, nih. he he he eh.

  9. ga ada orang tua yang kejam sama anaknya

  10. Sungguh, Mas Militis, kisah ini membuat pori2 saya jadi merinding, mengharukan. Begitu kerasnya didikan almarhum terhadap Mas Militis dan abang sampai2 membuat Mas Militis harus sering tampak bermusuhan. Yak, itu kisah masa lalu. Tapi, sekarang yang bisa merasakan dampak dari didikan yang keras dan superketat semacam itu kan Mas Militis sendiri. Jadi, saya kira Papa Mas Militis Almarhum, menurut saya nih, sudah mengambil langkah yang tepat demi masa depan anak2nya –menurut prinsip dan keyakinan almarhum tentu saja, karena bisa jadi orang tua yang lain akan memilih teknik mendidik yang berbeda lagi. Tak ada seorang pun yang akan mencelakai anak2 tercintanya. Harimau yang buas pun tak akan tega memangsa anaknya sendiri, kan? Yak, jangan dipahami sebagai sebuah tindakan kejam, tapi perlu dimaknai sebagai manifestasi kasih sayang, agar kelak sang anak tercinta bisa sukses menggapai masa depannya.
    Yang penting sekarang *halah sok menggurui* Mas Militis tak henti2nya berdoa untuk papa (almarhum) sebagai bakti anak terhadap orang tua. Berbakti kan tidak hanya selama orang tua masih hidup, kan? Jadi anak yang birrul walidain, kata Pak Ustadz.
    *Salut, sudah ditinggal orang tua sejak SMP tapi tetap tegar dan sukses.*
    Maaf, komentarnya kepanjangan nih! OK, salam.

  11. “Tapi memang kita baru terasa kalau itu semua sudah berlalu”
    ho oh, kek saia juga, tafi munkin saia ringan sangadh, cuma itu tade, namanya anak SMP yang lage suka maen mosok tiaf hari suruh ngetik molo! dari fulang skolah samfe malem jam 11. ngetik, ngetik dan ngetik…soale sing mbahurekso mbukak rental kompie, jadina banyak nerima ketikan dari kedokteran…
    eh, skarang saia jadi kenal sangadh sama komfie, terus ngetikna cefed sangadh, dan skarang bisa buad nyari duid! mhuahuahuahua

  12. weks…

    untung papa ik nggak segitu kejamnya…cuman ngejadiin ik asbak buat matiin rokoknya doang kalo ik ndak belajar….

    halah…komen serius dolo….

    lalu hasilnya nampak ndak sekarang…??? 😕

  13. Ah, saat papa dulu masih hidup… kadang aku anggap beliau kejam…
    …tapi setelah tiada, hahahaaaa..

    Ketika dia meninggal pada saat aku masih SMP, aku tidak takut, aku yakin bekal yang telah di-ajar-kan-nya akan bisa membantu-ku untuk hidup. Dan ini sudah terbukti saat ini, biar-pun sedikit, tapi aku bisa hidup. Aku bisa tunjuk-kan pada dunia kalau tanpa orang tua-pun aku bisa hidup, aku bisa memiliki sedikit lebih banyak dari yang tidak memiliki.

    Papa…aaah… *jadi pengen nagis aku*

  14. Hei, taun depan ikut ke pesta blogger ya. Biar tambah seru!!!

  15. Syip paman extrem…
    dari papa pejuang muncul pula seorang pejuang lain..
    dan sekali lagi, pejuang juga butuh menangis ya ga??
    Ah, mengingatkan padanya

  16. Ketika memperlihatkan induk ayam yang memecah butiran beras menjadi lebih kecil… Namun bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anaknya yang paruhnya yang belum lagi kuat, sungguh pengorbanan menurut saya (2)

  17. Titip Rindu Buat Ayah (Ebiet G Ade)

    “Dimatamu masih tersimpan selaksa peristiwa
    benturan dan hempasan terpahat, dikeningmu
    Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras namun kau tetap tabah”

    “Meski nafasmu kadang tersengal, memikul beban yang makin sarat, kau tetap bertahan.”

    “Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini,
    Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan,
    Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari,
    Kini kurus dan terbungkuk…”

    “Namun semangat tak pernah pudar
    Meski langkahmu kadang gemetar, kau tetap setia
    Ayah, dalam hening sepi kurindu
    Untuk menuai padi milik kita
    tapi kerinduan, tinggal hanya kerinduan
    anak mu sekarang banyak menanggung beban”

    :::Semoga, kerinduan itu masih ada meski beban juga harus tetap ditanggung:::

    (3) Maafken atas terjadinya hetrik ini

  18. Jadi menurut kalian, teman-teman dan pembaca, Papa-ku kejam?

    Dari sudut pandang seorang yang pernah menjadi kanak-kanak… kemungkinan besar jawabannya: Ya.
    Dari sudut pandang kekinian: relatif.

    Karena toh pada akhirnya ada nilai yang bisa diambil sebagai panduan pada hari ini. Benar ndak? 😉

  19. @rozenesia
    *tendang yang vertamax ke luar angkasa*
    maaf ya Gun jadi ngingetin, tapi aku yakin kamu juga kuat kok, jadi-kan apa yang selalu di-ajar-kan-nya sebagai modal kamu untuk survive di dunia yang liar ini…semoga ya Gun…

    @morishige
    thx buat simpati-nya bro…

    @mardun
    bener itu bro, nyadar-nya telat, kalau dulu selalu anggap mereka kejam, padahal akhir-nya aku juga yang nge-rasa-in penting-nya didik-an mereka 🙂

    @almascatie
    😦 juga…

    @deKing
    ya…ya, itu benar, dan itu-lah yang sekarang membuat aku lebih kuat bro…

    @anakrimba
    yah dan yang terjadi, kita baru nyadar-nya terlambat, sudah sangat terlambat…

    @Hanna
    gpp kok Han kalau kamu mau ber-cerita, aku malah senang kamu mau berbagi dan ternyata lebih dari apa yang aku alami… 🙄
    tapi akhir-nya kita juga yang akhir-nya sadar ya Han, kalau mereka ber-buat seperti itu bukan untuk mereka, tapi untuk kita, agar kita bisa lebih kuat meng-hadapi keras-nya kehidupan…Thx Han 😉

    @Anang
    itu betul mas, dan mudah-mudah-an seperti itu 😉

    @Sawali Tuhusetya
    Thx buat support-nya Pak Guru, dan nyantai aja aku tidak merasa di-Guru-i kok. Aku malah senang, Pak Guru bisa ikut-an memberikan pencerahan buat aku dan kita di-sini 🙂

    tapi perlu dimaknai sebagai manifestasi kasih sayang, agar kelak sang anak tercinta bisa sukses menggapai masa depannya.

    yang ini keren Pak Guru *catet*

    @hoek
    tuh kan Hoek aja yang gak jelas orang-nya 😈 merasakan arti penting didikan orang-tua yang keras, keep it on dude 😉

    @celotehsaya
    di-sundut begitu 😕 walah…
    hasil-nya gimana sekarang ? 🙄

    @saras
    ok deh 😉
    thx udah mampir yaks…

    @goop
    iya nih, goop, bagi aku dan bagi kita, papa dan mama adalah pejuang-pejuang tangguh yang mampu mem-besar-kan kita dengan cara-nya sendiri…

    *muterin lagu-nya Ebiet kiriman goop* 😥
    thx ya goop…

    @alex

    Karena toh pada akhirnya ada nilai yang bisa diambil sebagai panduan pada hari ini. Benar ndak? 😉

    Akur bro 😉

  20. submit ke LB ahhh bagus banget nih artikel kayak yang keperawanan itu tuh

  21. Biasanya .. yang kejam itu ibu tiri 😀 bahkan ibu kota juga kejam hehehe .. just kidding.

    Well .. story yang menyentuh. Satu lagi bukti .. bahwa boleh jadi kita merasa sesuatu itu buruk buat kita tapi Allah menganggap itu baik. Boleh jadi kita merasa sesuatu itu baik buat kita tapi Allah menganggap itu buruk buat kita.

    Syukurlah .. ada hikmah dari “kegetiran” masa silam. Karena banyak juga loh .. gara2 orang tuanya kejam, si anak tumbuh menjadi berandalan. Tukang berkelahi. Hidup seenaknya dlsbnya.

    Sudah saatnya kekerasan pada anak2 harus dicegah.

  22. jadi ingat bapak dan ibuku yang jauh disana.
    Kadang kecintaan itu muncul setelah kita jauh dari mereka.
    *beberapa point kehidupannya hampis sama dengan aku*
    *Ya Tuhan jagalah Ayah Ibu kami seperti mereka menjaga kami sampai seperti sekarang ini*

  23. Wah, beneran tuh….. tiap hari itu jadwal harus terus dipenuhi? Selama berapa tahun itu jadwal harus dipenuhi?
    Wah, mudah2an aku nggak jadi papa yang ‘kejam’ deh yaa…

    *sambil merenungi diri sendiri*

  24. selamat…salut…

  25. sama cerita kita ya…. kalau ingat masa kecil dulu, seakan-akan hidup penuh derita…

    tapi kalau dilihat dari kacamata kini, apa yang secara keras diberikan orangtua dulu ternyata untuk kebaikan diri kita juga.

    saya cuma ingat perkataan teman saya setelah ayahnya meninggal dulu :

    “apa yang dia (ayahnya) berikan samaku adalah wujud dari cintanya, meskipun terkadang dia tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya”

  26. @erander
    Yupe bro, kalau aku pikir-kan secara positif, sengsara membawa nikmat gitu deh 😉

    @GRaK
    Amin bro 😉

    @Yari NK
    Bener mas, itu dari aku umur 5 tahun kalau ndak salah ampe kelas 1 SMP persis sebelum Papa meninggal… 😦
    Tapi, aku baru sadar ternyata itu bukan kejam kok mas, emang keras, sangat keras, tapi aku juga yang ngerasain kok hasil-nya sekarang 😉

    @salamatahari
    selamat juga :mrgreen: btw, kamsud-nya 😕

    @fertobhades
    wah ternyata bro punya jalan yang sama juga yaks?

    “apa yang dia (ayahnya) berikan samaku adalah wujud dari cintanya, meskipun terkadang dia tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya”

    Akur bro, akur…

  27. touchy bgt
    sayang ga sama tentang kesan saya terhadap ayah 😦

  28. Keeeejam…..?! :/

    Itu adalah hadiah terindah yg diberikan almarhum terhadap Mas Militis.

    Inget, “HADIAH TERINDAH” 😀

    bahkan gw sendiri mengharapkan warna seperti itu dlm hidup gw . Biar lebih dewasa gtu…!
    g lembek kya skarang coz kurang didikan dr Bokap. ini karna gw dibesarkan hanya dengan didikan Nyokap, tanpa Bokap.
    Bokap gw almarhum sejak gw umur 3 thn. :”(
    Jadi Rindu…………..

  29. Ndak kejam mas, tapi HEBAT.
    Anda benar-benar beruntung memiliki ayah seperti beliau 😀

  30. kita baru paham kenapa papa atau mama kita terkesan kejam dalam mendidik anak2nya setelah kita nyebur ke dunia nyata, nyebur ke kejamnya dunia pergaulan orang dewasa baik itu dunia kerja, dunia pernikahan, dll.

    kalo mereka gak melatih mental kita, gak mgkn kita bertahan hidup, jgn2 udh pindah rumah alias dikubur dalam tanah :mrgreen: atau sakit2an krn stres menghadapi kejamnya hidup atau jadi loser dan tidak dihargai orang2 dalam pergaulan.

    kalo mental kita kuat dan tangguh plus otak cerdas plus rendah hati plus plus yang laen maka hidup yang keras ini bisa kita lalui dengan selamat dan mudah….dan pada akhirnya memberikan kita kebahagiaan lahir batin, ketenangan jiwa…seperti mas EM bilang sengsara membawa nikmat atau seperti Tukul bilang “bersakit-sakit dahulu meninggal kemudian” (lah kapan senengnya hahaha 😆 )

    *thanks buat mas EM, saya jadi ikutan sadar 😀

  31. @’K,
    lho emang kesan-nya yang berbeda itu bagaimana bro? 🙄

    @goes
    waduh sorry ya goes kalau aku jadi meng-ingat-kan kamu…dan itu betul kalau itu pada akhir-nya adalah sebuah hadiah yang sangat indah bro…
    tapi life must go on dude, jadi mari sama-sama ngelakuin yang terbaik buat kita dan masa depan kita bro…

    @sigid
    thx bro, yah, aku juga baru menyadari-nya setelah cukup memahami 😉

    @yonna
    setuju mbak dengan uraian-nya mbak, semakin menguat-kan aku untuk terus men-jadi-kan yang mereka ajar-kan sebagai pedoman dalam melangkah
    sama-sama terima kasih mbak buat saling menyadar-kan 😉

  32. Ngangkat air ampe menuhin 4 bak, 5 ember

    Udah 9 ember

  33. @harriansyah
    *ceburin harri ke dalam bak* 😆

  34. Kadang-kadang kita memang serinkali memandang dari sudut yang berbeda, apa saja yang dilakukan oleh orangtua kita. Dan lebih banyak yang ktia lihat adalah sisi negatifnya.

    Dan kemudian kita baru menyadari cara pandang yang seharusnya, setelah sekian lama hal itu berlalu.

    Selamat atas didikan papah Anda yang hebat.

  35. @pam
    memang seperti itu mas, dan kita-lah yang harus bisa menyadari-nya bukan orang lain, karena itu untuk kita bukan untuk orang lain
    thx mas 😉

  36. mirip ama ortuku, Mus…

    😉

    aku suka quotenya…

    “Biar kita bisa menghargai uang itu sekecil apapun”

Tinggalkan Balasan ke saras Batalkan balasan